Pendahuluan
Zuhud dan tasawuf merupakan dua hal yang saling berkaitan. Apabila seseorang ingin bertasawuf, maka dia diharuskan pula untuk melakukan zuhud. Bertasawuf tanpa zuhud adalah hal yang mustahil, karena dalam bertasawuf istilah zuhud menjadi salah satu syarat utama untuk mencapai tujuan dari tasawuf itu sendiri, yaitu keinginan kuat untuk merasa dekat dengan Allah SWT sehingga Allah dirasakan hadir di dalam dirinya.
Secara istilah, tasawuf memiliki arti yang berbeda-beda. Pengertian tasawuf kurang lebih meliputi mendekatkan diri pada Tuhan, mensucikan diri, atau menjauhkan diri dari kemewahan. Tasawuf dapat mempertebal iman seseorang, memperkuat ketauhidan, memperluas ladang amal, membersihkan jiwa, serta memperkuat ihsan. Jika sudah demikian, maka seseorang akan lebih mengenal Allah dan ingin mencari keridloan-Nya semata sehingga secara otomatis akan meningkatkan akhlak seseorang itu sendiri.
Dalam tasawuf, sebelum menjadi seorang sufi, para calon sufi harus melalui beberapa tingkatan (maqam). Di setiap tingkatan, seorang calon sufi berusaha keras untuk membersihkan hatinya agar dapat melanjutkan perjalanan ke tingkatan berikutnya hingga akhirnya dapat berada sedekat mungkin dengan Allah. Dalam tingkatan-tingkatan tersebut, zuhud menjadi salah satunya yang harus dilalui oleh calon-calon sufi tersebut.
Zuhud menjadi bagian penting para sufi dalam bertasawuf. Zuhud berarti mengosongkan hati dari sesuatu yang bersifat duniawi atau meninggalkan hidup kematerian. Zuhud menjadi salah satu jalan dalam bertasawuf. Hal ini terbukti di kalangan sufi yang meyakini bahwa tasawuf lahir dan muncul karena pribadi, perilaku, peristiwa, ibadah, dan kehidupan Rasulullah. Adapun dalam bertasawuf, Rasulullah juga berzuhud. Beliau tidak terpesona oleh kemewahan dunia, menyedikitkan urusan dunia, dan menjalani segala kecukupan yang ada.
Dari sini, dapat disimpulkan. Bahwasanya, zuhud menjadi salah satu syarat utama dan merupakan hal yang sangatlah penting bagi seorang calon sufi dalam bertasawuf dan mencapai tujuan utamanya. Seseorang belum bisa dikatakan bertasawuf apabila dia meninggalkan kezuhudan. Hal ini berarti, zuhud merupakan salah satu cara terwujudnya tasawuf dalam Islam.
B. Zuhud Sebagai Cikal Bakal Lahirnya Tasawuf dalam Islam
I. Pengertian Zuhud
Secara bahasa, zuhud memiliki definisi yang berbeda-beda. Definisi pertama zuhud yaitu berasal dari lafahz zahidha fiihi wa 'anhu, zuhdan wa zahaadatan berarti berpaling dari sesuatu, meninggalkan sesuatu itu kerana kehinaannnya atau kerana kekesalan kepadanya atau untuk membunuhnya[1]. Kedua, berasal dari lafazh zuhdan fi sya’ i yang berarti bahwa tidak berkeinginan kepada sesuatu[2].
Menurut istilah, zuhud berarti berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akherat[3]. Sedangkan menurut Al-Junaidi zuhud adalah keadaan saat tangan kosong dari pemilikan, dan hati dari ambisi[4]. Dari beberapa uraian tersebut, dapat disimpulkan. Bahwasannya, zuhud adalah suatu upaya untuk mendapat ridho Allah dengan cara tidak tergiur akan kehidupan dunia.
Dalam berzuhud, seseorang diharapkan dapat tidak mengutamakan kehidupan dunianya. Namun, zuhud bukanlah berarti harus meninggalkan kehidupan dunia dan hanya memikirkan akan kehidupan akhirat saja. Jika hal ini diamalkan, maka akan sangatlah bertentangan dengan syari’at Nabi Muhammad Saw. Seperti yang kita ketahui, Nabi Muhammad adalah seseorang yang zahid, tetapi selalu memikirkan keluarga dalam urusan duniawi. Beliau rajin bekerja untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan menganggapnya sebagai ibadah. Tidak hanya nabi yang pernah berzuhud dan menjadi seorang yang zahid. Sahabat nabi pun juga demikian. Umar bin Al-Khatab, misalnya.
Zuhud sendiri sebenarnya memiliki beberapa tingkatan. Setiap tingkatan zuhud memiliki kategori para zahid yang berbeda-beda dalam melakukan zuhud. Pertama, zuhudnya orang awam yaitu zuhud dengan cara meninggalkan sesuatu yang haram di dunia ini. Kedua, zuhudnya orang khawas yaitu dengan cara meninggalkan hal-hal keduniaan yang bersifat haram serta mubah. Terakhir, zuhudnya orang arifin yaitu dengan berzuhud kepada semua hal yang dimurkai Allah karena tak ingin ditinggalkan oleh Allah.
Seseorang yang berzuhud sudah pasti karena ingin berada dekat dengan Allah Swt. Oleh karena itu, dia akan berusaha untuk mencapai tujuan tersebut. Dia akan mencintai Allah melebihi dirinya sendiri. Sahl berkata, “Tanda cinta kepada Allah adalah cinta kepada al Qur’an. Tanda cinta kepada Allah dan al Qur’an adalah cinta kepada nabi. Tanda cinta kepada nabi adalah cinta kepada sunnahnya.”[5] Itulah sebabnya, mengapa kita harus meneladani sikap nabi dan sahabat nabi dalam berzuhud.
Dengan demikian dapat dikatakan. Bahwa, zuhud bukan sama sekali meninggalkan atau tidak boleh memiliki sesuatu, tetapi lebih berarti dapat memiliki. Namun, janganlah sampai mencintainya. Mencintai dunia berarti mencintai hal yang fana, yang mudah rusak dan akhirnya musnah.
II. Tujuan Zuhud
Dalam tasawuf, zuhud adalah hal yang sangat penting. Zuhud dapat berperan sebagai media untuk mempersiapkan diri sebelum memasuki kehidupan keruhanian[6]. Telah disampaikan sebelumnya. Bahwa, seseorang sufi karena sangat mencintai Allah Swt, dia ingin mendapat ridho Allah dan kemudian dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Dia melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah. Tidak hanya itu. Bahkan, dia akan menjauhi apa-apa yang sekiranya dapat membawa dirinya jauh kepada Allah, yaitu terlalu mencintai sesuatu yang ada di dunia.
Semua yang ada di dunia ini bersifat fana’, suatu saat akan musnah dan akan kembali kepada Allah yang haq. Kebanyakan, hal-hal yang bersifat duniawi hanya akan melahirkan kebakhilan. Hal ini dapat menghambat perjalanan seseorang dalam meraih keridho-an Allah karena dia masih terikat dengan sifat kefana’an. Sehingga, untuk menghilangkan sifat kefana’an tersebut zuhud menjadi jalannya.
Kedua, zuhud berperan sebagai ukuran akhlak seorang sufi yang tidak dalam kondisi kurang maupun lebih[7]. Hal ini pun tertuang dalam zuhudnya para calon sufi yang berarti tidak mengutamakan kehidupan dunia dan merasa cukup dengan apa yang telah diberikan Allah Swt di dunia ini. Bagi para sufi, hakikat zuhud adalah ketenangan hati tentang apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya[8]. Tidak ada lagi rasa khawatir akan kehilangan apa yang kita miliki di dunia ini.
Hati adalah bagian yang sangat suci, yang menjadi tolak ukur iman seseorang. Dalam perjalanan menuju keabadiaan Allah, seorang sufi diharapkan dapat membersihkan hati dari segala kebathilan. Kalau hati sudah bersih, maka ketenanganlah yang akan bersemi dalam hati dan untuk mencapai ketenangan tersebut, seorang sufi harus melakukan zuhud. Di sinilah baru terlihat, tujuan zuhud yang sebenarnya.
III. Zuhud Awal dari Tasawuf Islam
Tasawuf dan zuhud adalah dua istilah yang memiliki tujuan yang hampir sama. Seperti yang telah dijelaskan tadi, zuhud bertujuan untuk mendapat ridho Allah agar dapat berada sedekat mungkin dengan Allah. Sedangkan tasawuf menurut Harun Nasution, adalah suatu upaya yang bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan[9].
Dalam sejarah Islam, sebelum munculnya tasawuf terlebih dahulu ada aliran zuhud. Aliran ini menurut sebagian saksi lahir karena adanya penyimpngan sosial dan moral pada akhir abad 1 H dan awal 2 H[10]. Saat itu, banyak terjadi penyimpangan sosial dan moral oleh para penguasa seperti berbuat maksiat, hidup mewah, dan melanggar norma-norma syari`at Islam. Melihat kenyataan tersebut, orang alim memperingatkan para penguasa itu dengan perkataan. Namun, ternyata hal itu belum bisa menyadarkan mereka. Justru, mereka tidak menggubrisnya lagi. Akhirnya, zuhudlah yang ditempuh untuk menyadarkan para penguasa agar tidak lagi menyimpang dari ajaran Islam sesungguhnya.
Sumber lain juga mengatakan. Bahwa, zuhud ada pertama kali ketika para zahid Kufahlah memakai pakaian kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dikenakan golongan Mua’awiyah, yaitu golongan raja yang suka hidup dalam kemewahan[11]. Sejak saat itu juga, sebagian besar masyarakat mulai tertarik untuk berzuhud. Tidak tergila-gila dengan harta yang ada di dunia dan senantiasa menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat membuat Allah murka.
Hakekat tasawuf itu sendiri sebenarnya adalah mendekatkan diri kepada Allah sang pencipta. Untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, calon sufi harus melakukan penyucian diri terlebih dahulu. Penyucian diri di sini maksudnya adalah melakukan pendekatan diri kepada Tuhan yang menurut beberapa sufi dibagi dalam beberapa tingkatan atau maqamat[12]. Di setiap tingkatan atau maqamat, calon sufi akan berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke tingkatan selanjutnya.
Para sufi memberikan urutan yang berbeda-beda tentang tingkatan-tingkatan apa saja yang harus dilalui oleh seseorang agar dapat mencapai tujuannya. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi dan al-Ghazali, misalnya. Mereka memiliki versi tingkatan yang berbeda satu sama lain. Apabila Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi menganggap tingkatan zuhud terletak di nomor tiga setelah sabar, maka al-Ghazali tidak. Menurut beliau, tingkatan zuhud dapat dicapai apabila seseorang telah berhasil menduduki tingkatan kefakiran[13]. Mekipun begitu, inti dari semuanya adalah sama.
Bicara tentang masalah tingkatan atau maqamat dalam upaya membersihkan jiwa, zuhud adalah salah satu tingkatan tersebut. Alasannya adalah karena sebelum menjadi orang yang zahid, seseorang tidak mungkin menjadi seorang sufi. Nabi bersabda, “Zuhud dari dunia merupakan induk dari setiap kebaikan dan taat[14].” Hal ini berarti bahwa, dengan berzuhud, seseorang dapat menghidarkan diri dari segala sesuatu yang bersifat duniawi agar tidak menjadi penghalang untuknya demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yaitu mendapat ridho Allah, bertemu dan ma’rifat Allah Swt.
Di sini terlihat dengan jelas. Bahwasanya, seorang sufi sebelum mencapai tujuan tasawufnya pasti harus menjadi seorang zahid terlebih dahulu. Tidak mungkin bagi mereka menjadi sufi tanpa adanya usaha untuk berzuhud. Mau mengejar kehidupan akhirat dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. Jika sudah demikian, orang tersebut akan terpelihara dalam perbuatannya, dia akan terhindar dari perbuatan yang tercela. Setelah menjadi seorang zahid, tentunya dia akan melalui beberapa maqam lain dan akhirnya sampailah dia pada tujuan sebenarnya, dapat meraih ridho Allah dan ma’rifat-Nya.
[1]http://amirzuhair.blogspot.com/2010/11/definisi-zuhud-menurut-bahasa-lafahz.html
[2]Djamaluddin Ahmad, Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2002),103
[3]http://www.g-excess.com/id/pengertian-zuhud-dalam-islam.html
[4]Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi diterjemahkan oleh Rahmi Astuti (Bandung, Penerbit Mizan, 1993),115
[5]Imam Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan (Bandung, Penerbit Marja’, 2003), 25
[6]Amir An-Najjar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf diterjemahkan oleh Hasan Abrori (Jakarta, Pustaka Azzam, 2004), 240
[7]Ibid.
[8]Djamaluddin Ahmad, Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2002),109
[9]http://soni69.tripod.com/artikel/tasawuf.htm
[10]http://arisandi.com/?p=187
[11]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2009),197
[12]Amin Syukur, Menggugat tasawuf (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999),50
[13]Ibid.
[14]Imam Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan (Bandung, Penerbit Marja’, 2003),30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar